RITIRO
December 04-20, 2016

In Memory of Agustinus Prayitno

We can only be hunters of objects, and must even be non-lethal hunters, since objects can never be caught. The world is filled primarily not with electrons or human praxis, but with ghostly objects withdrawing from all human and inhuman access, accessible only by allusion and seducing us by means of allure.*

Kayu – Lucie Fontaine’s branch in Bali, Indonesia – is pleased to present its fifth project, “Ritiro” [The Retreat], a two-venue exhibition of international artists on view at Rumah Topeng Dan Wayang [The House of Masks and Puppets] in Bali and Rumah Doa Bagi Semua Bangsa [The House of Prayer for All Nations] in Java, Indonesia. The participating artists are: Jumaldi Alfi, Ashley Bickerton, Lupo Borgonovo, Marco Cassani, Patrizio Di Massimo, Fendry Ekel, Dor Guez, Agnieszka Kurant, Filippo Sciascia, Alice Tomaselli, Entang Wiharso, and Alexandra Zuckerman.

The exhibition aims to put forward the identity of Kayu, showing artworks altrove [elsewhere], in the middle of nowhere, surrounded by nature, a place between magic and dream, in opposition to the traditional white cube gallery and the environment that surrounds it. Furthermore the title, “Ritiro”, which is the Italian word for retreat, refers to The Retreat (or the York Retreat), the country house founded by William Tuke in 1796 in Lamel Hill, York, England, for the treatment of people with mental health-related needs. In his book Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (1961) Michel Foucault described The Retreat as “a contractual alliance, a convergence of interests, organized on the type of simple partnerships”.
Specifically, “Ritiro” aims to reflect upon the concept of the artwork as a self-sufficient entity able to generate and acquire new values within “a permanent autonomous zone where objects are simply themselves.”* The concept of this project refers to the idea that things without life, or seemingly without life, can actually have their own existence. Inspired by Balinese culture, which is a mixture of Animism and Hinduism and in which Kayu exists, the exhibition implements theories from Western contemporary philosophies such as Speculative Realism and OOO (Object-Oriented Ontology).
In particular, “Ritiro” takes – literally and metaphorically – the artworks away from the comfort zone of the white cube space, creating both physical and mental distance between the artworks and contemporary society. Over the duration of this project, the artworks will be presented in two different venues: from 4 to 15 December 2016 at Rumah Topeng Dan Wayang in Bali, and on 20 December at Rumah Doa Bagi Semua Bangsa in Java.

The intimate atmosphere of Kayu – which is located in a joglo, a traditional Javanese wooden house within the context of Rumah Topeng Dan Wayang – will serve as a statement against the art field’s rejection of domestic spaces in favour of more neutral and aseptic space. This is a very dear issue to Lucie Fontaine, as demonstrated with projects such as “Estate” and her series of exhibitions “Domesticity,” the fifth iteration of which served as Kayu’s grand opening.

The one-day relocation of the artworks to the Rumah Doa Bagi Semua Bangsa – a building in the shape of a gigantic dove located in a remote area of central Java – is a magical action that brings the artworks to a faraway, androgynous zone, pushing the artworks to their limits, questioning their authorship or new anonymity; here they confront themselves and the surrounding nature. Rumah Doa Bagi Semua Bangsa was conceived as a site of worship where people of all religions could pray. Consequently the building came to be used as a reception centre for people with mental problems. Abandoned for several years, the building is now an attraction for local tourists.

The exhibition will be open everyday from 9 AM to 4 PM at the Rumah Topeng Dan Wayang in Bali. The exhibition displayed at Rumah Doa Bagi Semua Bangsa will be open to the public on 20 December only from 10 AM to 8 PM For further information please contact Lucie Fontaine’s employee in Bali, kayu@luciefontaine.com

* Graham Harman, Nº 085: The Third Table, part of dOCUMENTA (13): 100 Notes – 100 Thoughts / 100 Notizen – 100 Gedanken (Berlin: Hatje Cantz, 2012): 12-13/13-14.

.

RITIRO
04-20 Desember 2016

Mengenang Agustinus Prayitno

Kita hanya dapat menjadi pemburu obyek, dan bahkan harus menjadi pemburu tak mematikan, karena obyek tidak pernah dapat ditangkap. Dunia ini tidak terutama berisi elektron atau praksis manusia, melainkan obyek-obyek gaib yang undur dari semua akses manusiawi dan tak manusiawi, hanya dapat diakses dengan alusi dan merayu kita dengan sarana daya pikat.*

Kayu – cabang Lucie Fontaine di Bali, Indonesia – dengan bahagia menyajikan proyek kelima, “Ritiro” [Mundur]. Inilah pameran perupa internasional yang berlangsung di dua tempat, Rumah Topeng dan Wayang di Bali dan Rumah Doa Bagi Semua Bangsa di Jawa, Indonesia. Para perupa yang berpameran adalah Jumaldi Alfi, Ashley Bickerton, Lupo Borgonovo, Marco Cassani, Patrizio Di Massimo, Fendry Ekel, Dor Guez, Agnieszka Kurant, Filippo Sciascia, Alice Tomaselli, Entang Wiharso dan Alexandra Zuckerman.

Pameran ini bertujuan untuk mengedepankan identitas Kayu, dengan menampilkan karya seni altrove [di tempat lain], di antah-berantah, dikelilingi alam, suatu tempat di antara kegaiban dan impian, berlawanan dengan galeri berdinding putih konvensional dan lingkungan sekelilingnya. Selain itu, judul “Ritiro” – kata Italia yang berarti “mundur” – mengacu pada The Retreat (atau York Retreat), wisma pedesaan yang didirikan oleh William Tuke pada tahun 1796 di Lamel Hill, York, Inggris, untuk merawat orang-orang berkebutuhan khusus yang terkait dengan kesehatan jiwa. Dalam buku Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (1961), Michel Foucault menjelaskan Retreat sebagai “persekutuan atas dasar kontrak, titik temu kepentingan-kepentingan, yang diselenggarakan dengan jenis kemitraan sederhana”.
Secara khusus, “Ritiro” bertujuan untuk merenungkan konsep tentang karya seni sebagai entitas swasembada yang mampu menghasilkan dan mendapatkan nilai-nilai baru dalam “zona otonom permanen tempat obyek tak lebih dari dirinya sendiri.”* Konsep proyek ini mengacu pada gagasan bahwa benda-benda tanpa kehidupan, atau yang kelihatannya tanpa kehidupan, sebenarnya dapat memiliki eksistensi sendiri. Diilhami budaya Bali, yang merupakan campuran dari Animisme dan Hinduisme, serta merupakan lokasi Kayu, pameran ini menerapkan teori-teori dari filsafat kontemporer Barat seperti Realisme Spekulatif dan OOO (Object-Oriented Ontology, ontologi berorientasi obyek).
Khususnya, “Ritiro” menjauhkan – secara harfiah dan metaforis – karya seni dari zona nyaman ruang berdinding putih, menciptakan jarak lahir-batin antara karya seni dan masyarakat kontemporer. Selama berlangsungnya proyek ini, karya seni disajikan di dua tempat yang berbeda: pada 4-15 Desember 2016 di Rumah Topeng dan Wayang di Bali, dan pada 20 Desember di Rumah Doa Bagi Semua Bangsa di Jawa.

Suasana akrab Kayu – yang berada di joglo, rumah kayu tradisional Jawa dalam lingkup Rumah Topeng dan Wayang – akan berfungsi sebagai pernyataan yang melawan penolakan medan seni rupa terhadap ruang domestik dan pengutamaan ruang yang lebih netral dan steril. Inilah masalah yang sangat penting bagi Lucie Fontaine, sebagaimana yang ditunjukkan dengan proyek-proyek seperti “Estate” dan rangkaian pameran “Domesticity”, pameran yang penyelenggaraan kelimanya telah ditampilkan pada pembukaan resmi Kayu.

Pemindahan lokasi karya seni selama satu hari ke Rumah Doa Bagi Semua Bangsa – bangunan berbentuk burung merpati raksasa yang terletak di kawasan terpencil Jawa Tengah – merupakan tindakan magis yang membawa karya seni ke zona yang jauh dan androgin, mendorong karya seni ke batas terjauhnya, mempertanyakan muasalnya atau anonimitas barunya; di sini karya seni menghadapi dirinya sendiri dan alam sekitarnya. Rumah Doa Bagi Semua Bangsa dipahami sebagai tempat ibadah yang dapat digunakan untuk berdoa oleh pemeluk agama apapun. Akibatnya, bangunan ini menjadi digunakan sebagai pusat penerimaan para pengidap gangguan jiwa. Terlantar selama beberapa tahun, bangunan ini sekarang menjadi tempat wisata warga setempat.

Pameran di Rumah Topeng dan Wayang di Bali dibuka setiap hari pada pukul 09.00-16.00. Pameran di Rumah Doa Bagi Semua Bangsa dibuka untuk umum sehari saja, pada 20 Desember, pukul 10.00-20.00. Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi staf Lucie Fontaine di Bali, kayu@luciefontaine.com.

* Graham Harman, Nº 085: The Third Table, part of dOCUMENTA (13): 100 Notes – 100 Thoughts / 100 Notizen – 100 Gedanken (Berlin: Hatje Cantz, 2012): 12-13/13-14.

/SEARCH


type and hit 'enter'